Laman

Tokoh Di Balik Perkembangan Sidenreng Rappang

Maju mundurnya sebuah daerah memang tergantung pada sosok yang menahkodainya. Beruntung bagi Sidenreng Rappang, karena sekian lama rentang waktu perjalanannya, daerah ini selalu dinahkodai oleh putra terbaik sehingga mampu mengantar SIdenreng Rappang melalui masa-masa sulit. Mereka adalah pemeran sejarah dari sebuah episode negeri yang selalu gelisah untuk lebih maju.

Berawal dari A. Sapada, bupati pertama yang sukses menahkodai Sidenreng Rappang selama kurun waktu enam tahun, terhitung dari tahun 1960 – 1966. Kendati pun dikenal berdarah biru dari cucu raja Rappang dan raja Sidenreng, A. Sapada tetaplah berjiwa nasionalis. A. Sapada malah sukses meniti

Dibalik Nama SIDRAP

Sidenreng Rappang, sebuah nama yang melegenda. Tesis itu tak seorang pun yang membantahnya. Bukan saja karena namanya yang kian populer, tapi juga nama Sidenreng Rappang itu sarat dengan muatan sejarah. Begitu banyak catatan penting yang tertoreh dari Sidenreng Rappang. Secara sosiologis ada satu hal yangada satu hal yang menjadi kunci utama lahirnya suatu daerah. Yaitu hal yang mempertanyakan bagaimana suatu komunitas bisa terbentuk dan unsur-unsur apa saja yang membentuk komunitas itu. Dan memang bukan lagi misteri, seperti apa dan bagaimana sesungguhnya Sidenreng Rappang terbentuk dilihat dari proses awal komunitasnya.

Bukti-bukti sejarah yang bisa ditelusuri yakni sejak kita mengenal budaya tulis. Sudah diwariskan suatu cerita mengenai

Sejarah Kabupaten Sidrap

Sebelum ditetapkan menjadi sebuah Kabupaten, Sidenreng Rappang atau yang lebih akarab disingkat SIDRAP, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo.

Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksistensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatak dalam kitab “La Galigo” yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai “…Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).

Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai

Permaninan Tradisional Suku Bugis

Dapat dikatakan bahwa hampir semua permainan rakyat tradisional Bugis dilakukan setelah panen. Hal tersebut dikarenakan oleh waktu panen yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Dan untuk mengisi waktu lowong yang cukup panjang maka lahirlah berbagai macam permainan rakyat.

1. Marraga
Marraga/Mandaga adalah bahasa Bugis yang didalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama bermain atau bersepak raga. Penamaan ini berasal dari jenis peralatan permainan yang digunakan yaitu raga. Adapun istilah raga bersumber dari makna dan fungsi permainan, yaitu siraga-raga artinya saling menghibur. Pada zaman dahulu, seorang pemuda belum bias menikah jikalau belum mahir bermain raga. Seorang ahli permainan raga merupakan kebanggaan dan dikagumi masyarakat yang berarti turut meningkatkan status sosial seseorang.
Raga yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam, umumnya berukuran dengan diameter sekitar 15 cm.
Asal usul permainan raga sehingga dikenal di daerah Sulawesi Selatan, diperkirakan berasal dari

Budaya To Lotang Sidrap

Salah satu keunikan budaya di Kabupaten Sidrap, yakni adanya komunitas masyarakat yang akrab dipanggil dengan nama To Lotang yang umumnya berada di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe.
Kelurahan ini juga merupakan salah satu pusat wilayah pemukiman To Wani atau To Lotang yang sampai hari ini tetap eksis melestarikan tradisi warisan leluhurnya secara turun-temurun dalam lingkup sistem sosial mereka. To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (bahasa Bugis) yang berarti orang dan kata lotang yang berasal dari bahasa Bugis Sidrap yakni Lautang yang berarti Selatan. Pendatang ini terusir dari Wajo, oleh karena pada saat itu Arung Matowa Wajo telah memeluk Islam dan mewajibkan semua rakyatnya juga memeluk agama Islam. Bagi rakyatnya yang tidak mau mengikuti perintahnya, maka sebagai konsekuensinya harus meninggalkan tanah Wajo. Kemudian sekelompok masyarakat Wajo yang tidak bersedia memeluk agama Islam, dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita yang kemudian mengadakan perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi. Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat

Arsitektur Rumah Bugis

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, Arsitektur rumah Bugis mendapat pengaruh kuat dari budaya Islam, seperti tampak pada mesjid dan langgar yang terdapat di setiap lingkungan masyarakat. Pada waktu silam, umumnya desa Bugis terdiri atas sekelompok rumah yang letaknya berdekatan dengan jumlah antara 10 sampai 200 rumah.

Rumah-rumah itu berderet-deretan menghadap selatan atau barat, tetapi bila ada sungai selalu membelakanginya. Bangunan rumah tinggal suku Bugis dapat dibedakan dari bentuknya, yang menunjukan status sosial penghuninya. Rumah penduduk biasa mempunyai dua timpa laja (atap bersusun dua), sedangkan

Penganut Toani To Lotang

Amparita, salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Sidrap, kini masih banyak warganya menganut kepecayaan Toani Tolotang. Sekitar 5000 warga di wilayah itu yang menganut kepercayaan yang sudah turun temurun. Ini merupakan penganut terbesar kedua setelah penganut Agama Islam yang jumlahnya lebih 200 ribu jiwa. Pemerintah Indonesia hanya mengakui lima agama, selebihnya dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan Agama Hindu. Itulah sampai sekarang dikenal dengan nama Hindu Tolotang.

Penganut Toani Tolotang ini juga mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan

Pesan Nene' Mallomo

Salah satu petuah dari Nene’Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengang (adil) serta sifat Deceng Kapang (menghormati orang lain).

Nene’Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu

Sekilas Tentang Nene' Mallomo

Nene’Mallomo merupakan salah satu tokoh legenda (cendekiawan) di Sidenreng Rappang yang kemudian menjadi landmark Kabupaten Sidrap yang hidup di Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng. Ada juga yang menyebutkan bahwa Nene’Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654 M di Allakuang, dimana salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi motivasi kerja adalah Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata.

Pada zaman dahulu, setiap kerajaan memiliki cendekiawan yang merupakan pembimbing masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Ada 5 orang cendekiawan yang terkenal dalam perjalanan sejarah kerajaan Bugis, yakni

Silsilah Kerajaan Rappang


Big Kahuna Reef [Game Download]Fishdom [Game Download] 
Adapun Rappang berasal dari kata Rappeng, dalam bahasa Bugis, Rappeng berarti dahan/ranting yang hanyut. Dimana pada zaman dahulu, sungai yang mengalir di Rappang mempunyai lebar yang besar dan pada bagian hulunya banyak terdapat hutan belukar yang lebat. Dan apabila musim hujan telah tiba, maka dahan dari pohon-pohon itu hanyut dan membentuk daratan, menjadi tempat pemukiman dan kemudian diberi nama dengan Rappang.

SUSUNAN RAJA-RAJA RAPPANG

Sekilas Tentang Sejarah Kerajaan Sidenreng dan Rappang

Dalam konteks sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, diawali dengan kehadiran To Manurung yaitu orang yang datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui asal usulnya. Oleh karena kemisteriusannya, masyarakat mengambil kesimpulan bahwa To Manurung berasal dari kayangan.

To Manurung berasal dari bahasa Bugis yang terdiri atas 2 kata yaitu, to yang berarti orang dan Manurung yang berarti turun. Dalam kebudayaan Bugis yang dimaksud To Manurung ialah

Silsilah Kerajaan Sidenreng Menurut "Buku Panduan Maccera Arajang"

Dalam buku Panduan Maccera Arajang di Massepe Tahun 2006, dijelaskan bahwa Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang adalah kerajaan kembar yang diperintah oleh 2 orang Raja, kakak beradik, oleh karena tidak ada batas yang tegas yang memisahkan kedua wilayah kerajaan tersebut. Lontaraq hanya menggambarkan bahwa penduduk Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang hanya dapat dibedakan pada waktu panen. Yang menyangkut padinya ke utara, itulah rakyat Kerajaan Rappang, sedangkan yang menyangkut padinya ke selatan itulah rakyat Kerajaan Sidenreng.

Selain itu, kedua rajanya juga membuat ikrar, yaitu Mate Elei Rappang, Mate Arawengngi Sidenreng. Mate Arawengngi Rappang, Mate Elei Sidenreng. Yang berarti Mati Pagi Rappang, mati sore Sidenreng. Mati sore Rappang, Mati Pagi Sidenreng.

Ada versi yang mengatakan bahwa Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang berasal dari

Sisilah Kerajaan Sidenreng Menurut Lontara "Mula Ri Timpa'na Tanae Ri Sidenreng"

Dalam buku lontara "Mula Ri Timpa'na Tanae Ri Sidenreng", halaman 147, konon Raja Sangalla, seorang raja di Tana Toraja (waktu itu Tana Toraja masih berada dalam wilayah kerajaan Luwu) mempunyai sembilan orang anak, yaitu :

1. La Maddaremmeng
2. La Wewanriwu
3. La Togellipu
4. La Pasampoi
5. La Pakolongi
6. La Pababbari
7. La Panaungi
8. La Mappasessu
9. La Mappatunru

Dalam kehidupan sehari - hari, Lamaddaremmeng selalu menekan terus serta mengintimidasi kedelapan adik-adiknya seperti adik tiri semua, sehingga sering terjadi perselisihan diantara mereka dengan kakaknya. Daerah kerajaan adik-adiknya dirampas oleh La Maddaremmeng.

Karena semua adik-adiknya sakit hati dan sudah tidak tahan lagi melihat perlakuan La Maddaremmeng, maka mereka